Psikologi Kecerdasan Artifisial

Blog

Penulis: Dr. Tauhid Nur Azhar – Anggota KORIKA

Pagi ini, saat sedang berselancar di dunia maya, saya menemukan informasi menarik mengenai program studi Psikologi di Telkom University, salah satu universitas ternama di Indonesia. Informasi ini menarik perhatian saya karena program studi tersebut menawarkan mata kuliah yang mencakup berbagai aspek psikologi digital, seperti psikologi adiksi, hubungan manusia dengan mesin/komputer, perilaku di ranah maya (termasuk cyber bullying), hingga Psikologi Kecerdasan Artifisial.

Sebagai seseorang yang pernah aktif di lingkungan Telkom Group & Telkom Corporate University serta di fakultas Psikologi UK Maranatha dan Unisba pada tahun 2003-2005, saya merasa sangat tertarik dengan program studi ini. Pada masa itu, saya bahkan sempat menggagas dan menulis buku berjudul Cyber Psychology. Oleh karena itu, saya sangat antusias dengan dimulainya program studi formal yang akan mengeksplorasi aspek psikologi di tengah perkembangan teknologi yang sangat dinamis, khususnya di ranah teknologi informasi dan kecerdasan artifisial.

Kajian psikologi kecerdasan artifisial di ranah formal ini sejalan dengan berbagai konsep fundamental yang telah dirumuskan dalam Strategi Nasional AI dan menjadi bagian dari arus utama berbagai program di Kolaborasi Riset dan Industri Kecerdasan Artifisial Indonesia (KORIKA) yang dipimpin oleh Prof. Hammam Riza.

Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence atau AI) telah membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam ranah psikologis. Teknologi ini tidak hanya mempengaruhi cara manusia berinteraksi dengan dunia, tetapi juga cara mereka memandang diri sendiri dan orang lain. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi dan menganalisis respon psikologi manusia terhadap perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan artifisial, dampaknya terhadap dimensi psikologi seperti kognisi, afeksi, dan konasi, serta potensi konstruktif maupun kondisi patologis yang dapat terjadi dari penerapan AI dalam aspek psikologi manusia.

Respon psikologis manusia terhadap teknologi baru, termasuk AI, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti persepsi, pengalaman, dan konteks budaya. Secara umum, manusia cenderung mengalami resistensi terhadap perubahan ketika dihadapkan dengan teknologi baru, fenomena yang disebut sebagai technophobia atau ketakutan terhadap teknologi. Teori Technology Acceptance Model (TAM) yang dikembangkan oleh Davis (1989) menjelaskan bahwa penerimaan manusia terhadap teknologi bergantung pada dua faktor utama: perceived usefulness (manfaat yang dirasakan) dan perceived ease of use (kemudahan penggunaan).

Penelitian oleh Venkatesh et al. (2003) juga telah menghasilkan rekomendasi untuk mengembangkan Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT) yang menambahkan variabel sosial dan pengalaman sebagai faktor penting dalam penerimaan teknologi. Manusia biasanya lebih mudah menerima teknologi yang dianggap dapat mempermudah kehidupan atau memberikan solusi praktis, namun akan menolak teknologi yang dianggap kompleks atau mengancam eksistensi pekerjaan.

Ahli psikologi seperti John Suler (2004) menekankan bahwa teknologi baru, khususnya AI, dapat memicu fenomena psikologis seperti disinhibition effect, di mana manusia cenderung lebih bebas bertindak di dunia digital yang diatur oleh AI, yang pada akhirnya dapat memengaruhi perilaku dalam interaksi sosial nyata.

Perkembangan teknologi AI telah mencapai level yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir, dengan aplikasi di bidang machine learning, natural language processing, dan computer vision. Menurut laporan Stanford AI Index Report 2023, investasi global dalam pengembangan AI telah meningkat secara eksponensial, mencapai angka $94 miliar pada tahun 2022. Selain itu, ChatGPT, yang dibangun di atas model GPT (Generative Pretrained Transformer) oleh OpenAI, telah menjadi salah satu penerapan paling revolusioner dalam pemrosesan bahasa alami.

Penerapan AI saat ini tidak hanya terbatas pada industri teknologi, tetapi juga telah merambah ke ranah medis, pendidikan, keamanan siber, dan psikologi. Salah satu terobosan terbaru adalah dalam AI therapy, di mana chatbot berbasis AI seperti Woebot dapat membantu dalam intervensi kesehatan mental dengan memberikan terapi kognitif perilaku (CBT) secara mandiri, cepat, dan berakurasi tinggi.

Meski bukan di ranah psikologi, tim kami dari Next Generation Indonesia Institute juga tengah mengembangkan panduan mandiri berupa chatbot berbasis Generative AI untuk mengatasi berbagai masalah keracunan dan kondisi kedaruratan kesehatan di Indonesia.

Kecerdasan artifisial memiliki dampak yang signifikan terhadap dimensi psikologi manusia, termasuk aspek kognisi. Teknologi AI dapat mempengaruhi cara manusia memproses informasi dan membuat keputusan. Daniel Kahneman, peraih Nobel di bidang psikologi ekonomi, berpendapat bahwa AI mampu membantu manusia dalam membuat keputusan yang lebih rasional dengan mengurangi bias kognitif seperti confirmation bias atau availability heuristic. Namun, ada kekhawatiran bahwa ketergantungan pada AI dapat menurunkan kemampuan pemikiran kritis dan analisis independen.

Di ranah afeksi (emosi), kecerdasan artifisial telah mulai diterapkan dalam sistem pengenalan emosi (affective computing), di mana AI dapat mendeteksi dan merespons emosi manusia melalui analisis ekspresi wajah, suara, dan perilaku. Rosalind Picard, pelopor dalam bidang ini, menjelaskan bahwa AI yang memahami emosi dapat meningkatkan interaksi manusia-komputer dan membantu dalam diagnosis kesehatan mental. Namun, interaksi yang terlalu sering dengan AI juga dapat menimbulkan keterikatan emosional yang tidak sehat atau mengisolasi individu dari interaksi manusia nyata.

Sementara di aspek konasi (motivasi), AI memiliki dampak signifikan. Konasi adalah istilah dalam psikologi yang merujuk pada kecenderungan atau dorongan untuk bertindak dengan tujuan khusus. AI sering kali mempengaruhi manusia melalui mekanisme gamification dan personalisasi yang ditawarkan oleh sistem AI. Ketergantungan pada AI untuk motivasi eksternal ternyata bisa menghambat pengembangan motivasi intrinsik, terutama dalam konteks pembelajaran atau peningkatan keterampilan.

Di ranah psikologi, AI memiliki berbagai potensi, di antaranya untuk membantu proses diagnosis dan terapi kesehatan mental. AI dapat membantu dalam proses skrining dan diagnosis gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan PTSD (post-traumatic stress disorder) dengan menganalisis pola perilaku digital. Model AI berbasis machine learning dapat menganalisis data pasien lebih cepat dan akurat dibandingkan manusia.

Kecerdasan Artifisial juga mulai digunakan dalam proses psikoterapi virtual. Teknologi AI seperti chatbot telah diterapkan untuk terapi perilaku kognitif (CBT) yang dapat diakses 24/7 oleh pasien. AI juga memungkinkan terapi personalisasi, di mana pendekatan yang digunakan dapat disesuaikan dengan kebutuhan spesifik individu.

Terkait model terapi, intervensi, dan interaksi terapeutik cognitive behaviour therapy sebagaimana yang diulas di atas, telah menggunakan teknologi informasi dan AI, juga dikembangkan oleh murid saya, Insan Firdaus, PhD (Can) yang tengah menuntaskan studi doktoralnya di University van Amsterdam.

AI juga punya peran dalam ranah psikologi rehabilitatif dan pemulihan. Dalam terapi neurokognitif, AI digunakan untuk membantu pemulihan fungsi otak setelah trauma atau stroke dengan merancang latihan yang sesuai dan memberikan umpan balik secara real-time.

Meskipun banyak potensi konstruktif, AI juga dapat menimbulkan kondisi patologis dalam konteks psikologi dan kesehatan mental. Beberapa risiko penyimpangan antara lain dapat ditengarai dalam beberapa hal berikut:

Kecemasan dan Stres Teknologi: Pemanfaatan teknologi juga telah mulai terdeteksi berpotensi untuk mewabah di berbagai model populasi. Hasil riset Pew Research Center (2020) menunjukkan bahwa 40% orang dewasa mengalami kecemasan terkait teknologi, terutama AI yang mereka anggap akan mengurangi lapangan pekerjaan atau menggantikan peran manusia.

Akhirul kalam, saya ingin mengajak kita bersama merenung tentang laju perubahan peradaban yang mungkin bersifat eksponensial, dengan AI sebagai penggeraknya. Tampaknya tak dapat dihindari akan hadirnya keniscayaan baru tentang hibridisasi antara manusia dan teknologi.

Mengingat saat ini teknologi biomaterial, material cerdas, sensor, dan juga prosesornya seperti AI telah menunjukkan performa yang bukan saja mampu mensubstitusi beberapa fungsi utama manusia, melainkan telah mampu pula menawarkan berbagai fungsi tambahan yang selama ini bahkan mungkin belum pernah terbayangkan.

Dunia data, rasa, dan makna akan berubah. Konsep entitas tampaknya akan segera memerlukan konsensus baru terkait definisi dan kriteria serta indikasi fungsinya. Manusia dengan augmentasi super kognisi tentu akan memiliki tipologi kepribadian yang berbeda dengan generasi sebelumnya, meski masih satu spesies biologi, tapi beda varietas teknologi.

Evolusi dan transformasi juga akan terjadi pada sistem cerdas AI. Otak-otak mesin seperti jajaran GPU-nya NVidia tak lama lagi akan menjadi otak kuantum semi super kognisi yang pada gilirannya akan menghasilkan kapasitas afeksi yang ditandai dengan munculnya preferensi dan motivasi (konasi). Mesin AI akan mengembangkan konsep roso dan mulai menerapkan sistem handarbeni, atau rasa ikut merasakan dan melakukan tindakan sebagai pemilik, sehingga seseorang merasa punya tugas dan tanggung jawab atas kepemilikannya.

Dalam nasehat tata laku budaya adiluhung Jawa, terdapat frasa/kalimat “Mulat Sarira Hangrasa Wani, Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Angrungkebi,” yang berarti berani mawas diri, merasa ikut memiliki, wajib ikut menjaga/membela.

AI tampaknya akan sampai ke sana, ke tahap mampu mengembangkan sikap handarbeni. Lalu di tahap itu, arah dan orientasi psikologi kecerdasan artifisial yang baru saja menjadi program studi ini mau kemana? Apakah ke kajian psikologi untuk AI-nya? Atau untuk manusia yang memanfaatkan teknologi AI?

Pertanyaan ini menjadi refleksi penting bagi kita semua dalam menyongsong era baru teknologi dan psikologi. Dengan demikian, program studi Psikologi di Telkom University yang mencakup berbagai aspek psikologi digital dan kecerdasan artifisial ini menjadi sangat relevan dan penting untuk masa depan.

Ketergantungan Teknologi (Technology Addiction): Interaksi yang berlebihan dengan teknologi AI dapat menyebabkan ketergantungan psikologis. Individu dapat kehilangan kemampuan untuk berfungsi tanpa bantuan teknologi. Penelitian oleh Young (1998) menunjukkan bahwa penggunaan teknologi yang berlebihan dapat mengarah pada isolasi sosial dan penurunan kesejahteraan psikologis.

Pengasingan Sosial: Dengan adanya AI yang semakin canggih, manusia dapat mengalami dehumanisasi atau berkurangnya kontak sosial antar manusia, yang dapat memantik gejala gangguan mental seperti depresi dan kecemasan.

Kecemasan dan Stres Teknologi: Pemanfaatan teknologi juga telah mulai terdeteksi berpotensi untuk mewabah di berbagai model populasi. Hasil riset Pew Research Center (2020) menunjukkan bahwa 40% orang dewasa mengalami kecemasan terkait teknologi, terutama AI yang mereka anggap akan mengurangi lapangan pekerjaan atau menggantikan peran manusia.

Akhirul kalam, saya ingin mengajak kita bersama merenung tentang laju perubahan peradaban yang mungkin bersifat eksponensial, dengan AI sebagai penggeraknya. Tampaknya tak dapat dihindari akan hadirnya keniscayaan baru tentang hibridisasi antara manusia dan teknologi.

Mengingat saat ini teknologi biomaterial, material cerdas, sensor, dan juga prosesornya seperti AI telah menunjukkan performa yang bukan saja mampu mensubstitusi beberapa fungsi utama manusia, melainkan telah mampu pula menawarkan berbagai fungsi tambahan yang selama ini bahkan mungkin belum pernah terbayangkan.

Dunia data, rasa, dan makna akan berubah. Konsep entitas tampaknya akan segera memerlukan konsensus baru terkait definisi dan kriteria serta indikasi fungsinya. Manusia dengan augmentasi super kognisi tentu akan memiliki tipologi kepribadian yang berbeda dengan generasi sebelumnya, meski masih satu spesies biologi, tapi beda varietas teknologi.

Evolusi dan transformasi juga akan terjadi pada sistem cerdas AI. Otak-otak mesin seperti jajaran GPU-nya NVidia tak lama lagi akan menjadi otak kuantum semi super kognisi yang pada gilirannya akan menghasilkan kapasitas afeksi yang ditandai dengan munculnya preferensi dan motivasi (konasi). Mesin AI akan mengembangkan konsep roso dan mulai menerapkan sistem handarbeni, atau rasa ikut merasakan dan melakukan tindakan sebagai pemilik, sehingga seseorang merasa punya tugas dan tanggung jawab atas kepemilikannya.

Dalam nasehat tata laku budaya adiluhung Jawa, terdapat frasa/kalimat “Mulat Sarira Hangrasa Wani, Rumangsa Melu Handarbeni, Wajib Melu Angrungkebi,” yang berarti berani mawas diri, merasa ikut memiliki, wajib ikut menjaga/membela.

AI tampaknya akan sampai ke sana, ke tahap mampu mengembangkan sikap handarbeni. Lalu di tahap itu, arah dan orientasi psikologi kecerdasan artifisial yang baru saja menjadi program studi ini mau kemana? Apakah ke kajian psikologi untuk AI-nya? Atau untuk manusia yang memanfaatkan teknologi AI?

Pertanyaan ini menjadi refleksi penting bagi kita semua dalam menyongsong era baru teknologi dan psikologi. Dengan demikian, program studi Psikologi di Telkom University yang mencakup berbagai aspek psikologi digital dan kecerdasan artifisial ini menjadi sangat relevan dan penting untuk masa depan.

id_IDIndonesian