Perubahan Iklim dan AI

Blog

Penulis : Dr. Tauhid Nur Azhar – Anggota Korika

Perubahan Iklim dan AI

TNA

Tepat 1 tahun telah berlalu dan masih tak lekang dari ingatan kita akan terjadinya suatu perisitiwa kecelakaan kereta yang melibatkan 2 kereta kelas Argo yang sangat prestisius di jalur ganda antara Kutoarjo-Jogja, di daerah Kalimenur tepatnya. Peristiwa anjlokan KA Argo Semeru yang kemudian memicu dampak lanjutan berupa benturan dengan rangkaian KA Argo Wilis yang berjalan dari arah berlawanan, meski tidak sampai menimbulkan korban jiwa, tetapi telah mengakibatkan kerugian yang cukup signifikan, plus memunculkan kekhawatiran terhadap aspek keselamatan transportasi.

Resume dari hasil investigasi KNKT yang telah dirumuskan dalam laporan akhir, kurang lebih adalah demikian:

Proses investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terkait kasus kecelakaan anjlokan KA 17 (Argo Semeru) telah selesai dilaksanakan. Berlokasi di Km.520 + 4 jalur hilir petak jalan Stasiun Sentolo – Stasiun Wates, pada lengkung 28i dengan radius 397 meter, dan panjang lengkung 845 meter. KNKT menyimpulkan berdasarkan temuan di lapangan bahwa faktor yang berkontribusi pada insiden kecelakaan dikarenakan kegagalan dalam mengidentifikasi bahaya (hazard) yang dapat meningkatkan risiko rel buckling oleh unit jalan rel dan jembatan.

Selain itu, terdapat perbedaan pengetahuan dan pemahaman di dalam organisasi jalan rel dan jembatan dalam menentukan jarak celah rel di sambungan rel. Tidak adanya penurunan batas kecepatan operasional Kereta Api (KA) saat kondisi permasalahan geometri jalan rel ditemukan dan perbaikan sedang dilakukan. (KNKT, Investigasi Kecelakaan Kereta Anjlokan KA 17 (ARGOSEMERU) di Petak Jalan Sentolo – Wates, DAOP 6 Yogyakarta, 2024)

Belum lama ini, memasuki medio Oktober 2024 pun kita mendengar berita tentang adanya gelombang pasang tinggi di pesisir selatan Jawa Barat, khususnya di beberapa wilayah Kabupaten Sukabumi. Bahkan kondisi gelombang ekstrem tersebut telah berdampak pada aktivitas nelayan dan kegiatan pariwisata yang mengalami pembatasan demi faktor keselamatan.

Di sisi lain, ada laporan hasil kajian Kemenkes terkait perubahan pola penyakit tular vektor atau penyakit yang disebarkan agen hayati, terkait dengan perubahan suhu dan iklim regional. Menurut laporan tersebut perubahan iklim dapat menyebabkan penyakit tular vektor berkembang biak karena berkaitan dengan profil suhu, kelembaban udara, dan curah hujan.

Pemanasan global, regional, dan lokal juga dapat menyebabkan akumulasi faktor alergen, perunagan kondisi polusi udara, dan adanya potensi gas berbahaya terperangkap di atmosfer bumi. Eskalasi berbagai hal tersebut dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit pernapasan, seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan asma, serta penyakit tidak menular lainnya, selain penyakit infeksi (berbasis vektor), juga gangguan pada kondisi kesehatan jiwa.

Sebagai contoh kongkret pada penyakut tular vektor misalnya, perubahan iklim berpengaruh terhadap siklus hidup nyamuk dan intensitas hisapan nyamuk. Hal ini karena nyamuk termasuk dalam agen hayati yang bersifat ectothermic, yaitu suhu tubuh tergantung dengan suhu lingkungan (temperatur ambien). Tahapan siklus hidup yang rentan terhadap perubahan iklim adalah larva ke dewasa.

Peningkatan suhu akan mempercepat proses perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Perubahan iklim juga akan mempercepat nyamuk betina dewasa untuk mencerna darah yang dihisap, sehingga intensitas penghisapan akan semakin tinggi. Hal ini berakibat ke peningkatan frekuensi penularan penyakit.

Jenis-jenis nyamuk yang dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim antara lain adalah Anopheles gambiae, A. funestus, A. darlingi, Culex quinquefasciatus, dan Aedes aegypti. Culex sp, misalnya merupakan salah satu vektor penular filariasis dan termasuk nyamuk yang bersifat antropofilik (gemar menghisap darah manusia).

Perubahan siklus hidup dan pola harian aktivitas nyamuk serta keberadaan patogen seperti virus di ekosistem tertentu yang merupakan habitat manusia, tentulah berpotensi untuk mempengaruhi dinamika penularan penyakit-penyakit tular vektor yang amat bergantung pada kondisi lingkungan dan elemen dalam sistem kompleks di dalamnya.

Apa hubungan dari kejadian anjlokan KA Argo Semeru, gelombang tinggi di pesisir selatan Sukabumi, dan dinamika penyakit tular vektor?

Anjlokan KA yang diakibatkan pemuaian rel (rail buckling), gelombang tinggi, dan dinamika vektor tular punya satu benang merah yang bermuara pada kondisi cuaca dan iklim, termasuk perubahan suhu yang terkadang bisa terjadi secara drastis.

Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan global terbesar yang dihadapi dunia saat ini. Dampaknya tidak hanya dirasakan pada sektor lingkungan, tetapi juga pada kesehatan masyarakat sampai ke berbagai aspek layanan publik lainnya yabf berdampak luas. Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa dampak perubahan iklim cenderung lebih signifikan di negara-negara berkembang, di mana infrastruktur kesehatan dan kemampuan mitigasi seringkali terbatas. Dongeng WA kita kali ini akan membahas bagaimana perubahan iklim mempengaruhi kualitas kesehatan masyarakat, layanan publik, sampai dengan aspek sosio-ekonomi yang bersifat krusial, dilengkapi dengan data statistik serta teori yang relevan.

Perubahan iklim antara lain ditandai dengan peningkatan suhu global, pola cuaca ekstrem, dan kenaikan permukaan laut, yang sedikit banyak turut disebabkan oleh aktivitas manusia (antropogenik), seperti penggunaan bahan bakar fosil dan deforestasi.

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu global telah meningkat sekitar 1,1°C sejak era pra-industri dan diperkirakan akan terus meningkat jika emisi gas rumah kaca tidak berkurang secara signifikan.

Sedangkan menurut data dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), dekade 2011-2020 merupakan periode terpanas yang pernah tercatat, dengan tahun 2020 menjadi salah satu dari tiga tahun terpanas dalam sejarah. Selain itu, Bank Dunia memperkirakan bahwa lebih dari 143 juta orang di kawasan Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, dan Amerika Latin bisa menjadi migran iklim pada tahun 2050 jika tindakan terhadap perubahan iklim tidak segera diambil.

Perubahan suhu dan pola curah hujan mempengaruhi distribusi vektor penyakit, seperti nyamuk yang membawa penyakit malaria dan demam berdarah. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa lebih dari 3,9 miliar orang di dunia berisiko terkena demam berdarah akibat perluasan area nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang meningkat karena suhu yang lebih hangat.

Studi lain menunjukkan bahwa peningkatan suhu global sebesar 2°C bisa menyebabkan 5% peningkatan prevalensi malaria di kawasan Afrika Sub-Sahara. Hal ini menjadi perhatian serius, mengingat bahwa malaria adalah salah satu penyebab utama kematian di wilayah tersebut.

Sementara menurut laporan The Lancet Countdown on Health and Climate Change, antara tahun 2000 hingga 2019, terjadi peningkatan sebesar 50% dalam jumlah populasi yang terpapar gelombang panas, yang mengakibatkan peningkatan risiko stroke, serangan jantung, hingga kematian.

Perubahan iklim juga meningkatkan frekuensi dan intensitas kebakaran hutan, yang menghasilkan polusi udara dalam bentuk partikulat halus (PM2.5). Partikel ini dapat masuk ke paru-paru dan menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti asma, bronkitis, dan bahkan kanker paru-paru. Menurut WHO, polusi udara bertanggung jawab atas lebih dari 7 juta kematian prematur setiap tahunnya.

Sebagai contoh, kebakaran hutan di Australia pada tahun 2019-2020 tidak hanya menyebabkan kehancuran ekologis, tetapi juga berkontribusi terhadap kualitas udara yang sangat buruk, mengakibatkan lebih dari 400 kematian akibat polusi udara yang tidak terkendali.

Tak pelak perubahan pola cuaca yang tidak terduga, seperti kekeringan dan banjir, juga berdampak pada produksi pangan. Kenaikan suhu juga memperpendek musim tanam di beberapa wilayah, yang mengarah pada penurunan hasil panen. Laporan Food and Agriculture Organization (FAO) memperkirakan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan penurunan produksi pangan global sebesar 10% hingga 25% pada tahun 2050. Akibatnya, kerawanan pangan meningkat dan memicu masalah malnutrisi, terutama di negara-negara berkembang.

Pertanyaan paling fundamental tentu muncul di benak kita? Mengapa terjadi perubahan iklim? Lalu apa penyebabnya? Demikian bukan?

Perubahan iklim dapat terjadi akibat berbagai faktor alami dan antropogenik (buatan manusia). Faktor-faktor alami meliputi aktivitas vulkanik, variasi radiasi matahari, dan perubahan sirkulasi samudra, namun dalam beberapa dekade terakhir, faktor antropogenik menjadi penyebab utama. Berikut adalah beberapa penyebab utama perubahan iklim yang telah kita rasakan, Emisi Gas Rumah Kaca (GRK), dimana gas seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O) yang dihasilkan dari aktivitas industri, transportasi, dan pertanian menjadi penyumbang terbesar. Konsentrasi CO2 meningkat dari sekitar 280 ppm pada era pra-industri menjadi lebih dari 410 ppm saat ini.

Lalu ada maraknya proses deforestasi, dimana penggundulan hutan mengurangi kemampuan alam untuk menyerap karbon dioksida, memperburuk efek gas rumah kaca. Hal ini diikuti oleh perubahan penggunaan lahan terkait dengan urbanisasi dan peningkatan kebutuhan industri yang menyebabkan peningkatan polusi serta perubahan albedo permukaan bumi yang mempengaruhi suhu global.

Penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi gas buang tentu saja memiliki kontribusi signifikan. Konsumsi batu bara, minyak, dan gas alam menghasilkan emisi GRK dalam jumlah besar.

Sementara peristiwa-peristiwa alami seperti El Niño yang meningkatkan suhu permukaan laut juga berkontribusi pada fluktuasi iklim.

Beberapa hipotesis dan teori terkait perubahan iklim dan dampaknya juga telah dicetuskan oleh para peneliti lintas disiplin. Teori yang relevan dengan perubahan iklim meliputi antara lain,
Teori Siklus Karbon, dimana model siklus karbon menjelaskan bagaimana GRK terperangkap di atmosfer, mengurangi radiasi yang dipantulkan keluar angkasa, dan menyebabkan efek rumah kaca.

Lalu ada Model Sistem Iklim Terintegrasi (Earth System Models, ESM), dimana model ini digunakan untuk memproyeksikan perubahan iklim masa depan dengan menggabungkan faktor atmosfer, lautan, es, dan biosfer. Model ini telah menunjukkan bahwa kenaikan suhu global sebesar 1,5°C hingga 2°C akan meningkatkan kejadian cuaca ekstrem secara eksponensial.

Lalu ada Teori Resiliensi Ekosistem dimana teori ini menjelaskan bagaimana ekosistem bereaksi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. Banyak ekosistem alami mendekati batas kemampuan mereka untuk beradaptasi, yang dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati.

Di Indonesia inisiatif untuk mengantisipasi perubahan iklim global, telah banyak dilakukan dengan melibatkan berbagai sektor lintas disipliner. Dari aspek riset dan teknologi misalnya,
Badan Riset dan Inovasi nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Iklim dan Atmosfer telah membangun model prediksi musim yang berfungsi sebagai bagian dari weather strategic decision support system (DSS) yang dinamai Kamajaya. Dimana Kamajaya adalah aplikasi Sistem Kajian Awal Musim Jangka Madya berbasis model atmosfer. Data yang dihasilkan Kamajaya kemudian dikembangkan untuk mendukung riset atmosfer maupun aplikasinya.

Pada Januari 2023 European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) telah menyatakan pemanasan global diperkirakan mencapai 1,21°C. Dalam 30 tahun, pemanasan global ini dapat berlanjut hingga mencapai 1,5°C pada Maret 2023, dan ini akan berdampak pada perubahan Iklim di Indonesia, serta akan memiliki dampak dan efek yang berbeda di setiap wilayah di Indonesia.

Berdasarkan data hasil kajian tim peneliti BRIN, untuk pengembangan model dalam Kamajaya, telah terjadi perubahan klimatologis di Indonesia selama 19 tahun yaitu 2001-2019. Durasi musim hujan lebih panjang di beberapa wilayah selatan di Indonesia, di antaranya adalah wilayah 1 di Sumatera Selatan dan Kalimantan dan sebagian wilayah di selatan Pulau Sulawesi selama 49 hari. Sementara, di Lampung dan bagian barat Pulau Jawa durasi musim hujan berlangsung lebih panjang 12 hari.

Hasil penelitian tim BRIN tersebut menunjukkan perubahan temperatur signifikan di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan (tahun 2021-2050 terhadap 1991 2020). Temperatur minimum mengalami penurunan di sebagian besar pantura Jateng dan Jatim, serta bagian tengah Jawa Barat. Temperatur maksimum mengalami peningatan di sebagian besar pantura Jateng dan Jatim. Hari-hari tidak hujan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan diproyeksikan meningkat, sehingga lebih kering dan mengalami peningkatan kering yang signifikan, sama halnya di Sumatera Selatan, hingga Lampung.

Perubahan iklim ini diduga menyebabkan terjadinya Badai Vorteks dan Siklon Tropis, di selatan Nusa Tenggara Timur, sehingga dampaknya meningkatkan hujan dan menimbulkan banjir di Madura dan wilayah Jawa Timur lainnya. Selain itu, adanya penghangatan suhu permukaan laut di Laut Jawa di utara Jakarta. Di sisi lain, suhu permukaan laut yang mendingin terbentuk di Laut China Selatan telah menciptakan tekanan tinggi. Pendinginan suhu laut itu disebut juga dengan istilah cold tongue. (Webinar Perubahan Iklim ITERA, 2024).

Secara lebih spesifik di berbagai aspek kehidupan dampak perubahan iklim kini mulai dapat dijejaki. Berikut beberapa kondisi yang diduga kuat terkait erat dengan perubahan iklim dan penurunan daya dukung lingkungan oleh berbagai penyebab yang bersifat sistematik.

Studi menunjukkan adanya hubungan antara polusi udara dengan penurunan fungsi kognitif dan peningkatan risiko gangguan mental, dimana hasil enelitian oleh Chen et al (2017) menemukan bahwa peningkatan paparan PM2.5 (partikulat yang sangat halus) terkait dengan peningkatan risiko gangguan neuropsikiatri seperti depresi dan kecemasan. Paparan jangka panjang terhadap polusi udara kronis juga dapat mempengaruhi perkembangan otak pada anak-anak, mengganggu fungsi kognitif, dan meningkatkan risiko gangguan perkembangan syaraf.

Polutan lingkungan juga dapat memicu stres oksidatif dan peradangan di otak, yang berkontribusi pada perkembangan masalah kesehatan mental. Misalnya, paparan logam berat seperti merkuri dan timbal dari polusi industri dapat mengganggu neurotransmisi dan menyebabkan gangguan suasana hati dan depresi.

Sementara polusi suara, terutama di daerah perkotaan yang padat, dikaitkan dengan peningkatan gangguan tidur, stres, dan peningkatan risiko gangguan mental. Suara bising yang konstan dapat meningkatkan kortisol (hormon stres) dalam tubuh, yang dapat memicu kecemasan jangka panjang dan gangguan suasana hati.

Secara biologis, paparan perubahan lingkungan ekstrem dan polusi dapat memengaruhi kesehatan mental melalui mekanisme berikut, terjadinya perubahan hormon stres akibat adanya kondisi cuaca ekstrem dan polusi udara yang dapat mengaktivasi poros HPA (hipotalamus-hipofisis-adrenal). Kondisi ini menyebabkan terjadinya peningkatan produksi hormon stres seperti kortisol. Peningkatan kortisol yang berkepanjangan terkait dengan depresi, kecemasan, dan gangguan tidur.

Polutan udara juga dapat merusak penghalang darah-otak dan menyebabkan inflamasi sistemik yang memengaruhi kesehatan otak. Inflamasi kronis di otak terkait dengan berbagai gangguan mental, termasuk depresi dan gangguan bipolar.

Di sisi lain perubahan lingkungan seperti gelombang panas dapat mengganggu siklus tidur dan ritme sirkadian, yang berdampak negatif pada stabilitas emosional dan kognitif seseorang.

Jika kita berbicara data global, maka data statistik menunjukkan bahwa jika tidak ada tindakan mitigasi yang signifikan, suhu global bisa meningkat hingga 3°C pada akhir abad ke-21. Proyeksi untuk berbagai sektor menunjukkan tren kurang lebih sebagai berikut,
menurut WHO, 250.000 kematian tambahan per tahun diproyeksikan terjadi antara 2030 dan 2050 akibat perubahan iklim yang memperburuk malnutrisi, penyakit menular, dan dampak terkait panas.

Sementara FAO memprediksi bahwa produksi pangan global bisa menurun hingga 10% pada tahun 2050, dengan dampak terbesar terjadi di negara-negara tropis.

Sedangkan laporan IPCC memperkirakan peningkatan frekuensi badai tropis dapat mencapai angka 50% di kawasan Atlantik dan Pasifik pada 2100.

Biaya pemeliharaan infrastruktur sistem transportasi, seperti pada kasus rel kereta di sistem transportasi massal perkeretapian yang kita angkat sebagai pembuka tulisan ini, diperkirakan meningkat dua kali lipat di wilayah pesisir karena kenaikan permukaan laut dan intensitas cuaca ekstrem.

Negara berkembang dapat kehilangan 5-10% dari PDB mereka setiap tahun akibat dampak perubahan iklim pada pertanian, infrastruktur, dan kesehatan. Sungguh suatu kondisi yang kita bersama tidak harapkan bukan?

Pertanyaan fundamental berikutnya, apakah dengan perkembangan teknologi yang kini melaju dengan pesat, seperti teknologi kecerdasan artifisial (AI), kita bisa mengelola dan mengurangi dampak buruk perubahan lingkungan yang memicu terjadinya perubahan iklim global?

Studi oleh Rolnick et al. (2019) menunjukkan bahwa AI telah membantu meningkatkan ketepatan dalam memprediksi fenomena iklim seperti badai tropis dan pemanasan global regional. Algoritma AI yang terus dikembangkan juga semakin memungkinkan pemodelan granular, yang membantu meningkatkan resolusi temporal dan spasial dalam prediksi cuaca ekstrem.

AI dapat mengolah berbagai jenis data, mulai dari data atmosfer hingga data laut, untuk menciptakan gambaran holistik mengenai perubahan iklim. Data dari sensor bumi dan satelit sangat banyak, tetapi membutuhkan pemrosesan yang canggih agar berguna dalam analisis iklim. AI dapat menyaring dan menyatukan data ini untuk memberikan prediksi yang lebih akurat tentang suhu permukaan laut, perubahan permukaan es, dan deforestasi.

Bahkan dengan menggunakan big data analytics, AI dapat menganalisis tren cuaca ekstrem secara real-time, yang memungkinkan peningkatan deteksi awal dan peringatan dini terhadap peristiwa iklim yang merugikan seperti banjir, kekeringan, dan badai.

AI juga dapat digunakan untuk mengatur jaringan listrik yang terdesentralisasi, dengan menggabungkan data tentang cuaca, penggunaan energi, dan kapasitas pembangkit, AI membantu memastikan bahwa energi terbarukan (seperti tenaga surya dan angin) dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal ini mencegah pemborosan dan meningkatkan efisiensi energi.

Algoritma AI juga dapat memprediksi produksi energi dari sumber terbarukan, seperti tenaga angin dan matahari, berdasarkan data cuaca. Ini sangat penting untuk menjaga stabilitas jaringan listrik, yang sangat tergantung pada pasokan yang konsisten.

Model AI mampu mengolah data geospasial untuk mendeteksi pola emisi karbon yang sulit dilihat oleh manusia. Dengan bantuan satelit dan teknologi pencitraan termal, AI dapat memberikan pemantauan real-time terhadap area industri, kota, dan bahkan kapal yang menghasilkan emisi tinggi.

Teknologi AI dapat digunakan untuk mengoptimalkan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage, CCS). Dengan menggunakan model machine learning, sistem ini dapat memaksimalkan efisiensi proses penangkapan CO₂ di industri manufaktur beremisi tinggi.

Dalam konteks preservasi dan konservasi lingkungan, nodel AI dapat digunakan untuk memantau kesehatan ekosistem laut, yang terkena dampak langsung dari kenaikan suhu air dan pengasaman laut. AI memprediksi perubahan dalam populasi terumbu karang, ikan, dan satwa laut lainnya yang penting untuk ekosistem global.

Bahkan dengan menggunakan teknologi drone dan citra satelit yang didukung analisis AI, pengelolaan hutan dan konservasi satwa liar dapat lebih ditingkatkan. Sistem pengenalan gambar AI mampu mendeteksi perubahan populasi satwa liar serta kehilangan hutan dalam skala besar yang disebabkan oleh perubahan iklim dan aktivitas manusia.

Dalam konteks mitigasi bencana, algoritma deep learning dapat digunakan untuk meningkatkan ketepatan sistem peringatan dini terkait bencana iklim, seperti badai, banjir bandang, atau kekeringan. Ini dilakukan dengan menganalisis data historis, cuaca real-time, dan proyeksi iklim.

Di kondisi pasca bencana, AI pun dapat digunakan untuk mengelola distribusi bantuan dan mengarahkan sumber daya ke lokasi yang paling membutuhkan. AI dapat menganalisis peta dampak bencana dan mengoptimalkan rute transportasi bagi tim penyelamat untuk mempercepat penanganan korban.

Menyimak berbagai fakta dan hasil analisis di atas, maka ada beberapa PR besar yang semestinya menjadi catatan kita usai membaca dongeng WA kali ini,

  1. Sudah saatnya bersinergi, berkolaborasi, dan merintis kerjasama strategis dalam mengupayakan kesadaran bersama tentang pentingnya memelihara dan menjaga lingkungan, dengan memperbaiki pola dan gaya hidup konsumtif, eksploitatif, dan manipulatif terhadap alam.
  2. Memulai inisiatif korektif sebagai tindak lanjut munculnya kesadaran tentang dampak perubahan iklim dan penurunan daya dukung lingkungan, yang dengan kerjasama strategis serta implementasi teknologi secara tepat daya dan tepat guna, kita akan dapat memperbaiki kondisi yang kini mulai memasuki tahapan destruksi katastropis.
  3. Memfokuskan segenap sumber daya dan kompetensi untuk upaya perbaikan lingkungan global secara berkesinambungan; regulasi untuk mengatur perilaku, kesetaraan dan keadilan dalam akses kesejahteraan, dan optimasi pemanfaatan teknologi garda depan seperti AI untuk membantu akselerasi inovasi dalam konteks restorasi dan reaktivasi daya dukung lingkungan.

Bahan Bacaan Lanjut

  1. IPCC. (2023). Sixth Assessment Report. Geneva: Intergovernmental Panel on Climate Change.
  2. WHO. (2020). Climate Change and Health. Geneva: World Health Organization.
  3. FAO. (2021). The Impact of Climate Change on Food Security. Rome: Food and Agriculture Organization.
  4. World Bank. (2022). Climate Risk and Adaptation. Washington, DC: World Bank.
  5. NOAA. (2021). State of the Climate: Global Climate Report. National Oceanic and Atmospheric Administration.
  6. World Health Organization (2020). Climate Change and Health. Geneva: WHO.
  7. Chen, H., Kwong, J. C., Copes, R., Tu, K., Villeneuve, P. J., van Donkelaar, A., … & Hystad, P. (2017). Living near major roads and the incidence of dementia, Parkinson’s disease, and multiple sclerosis: a population-based cohort study. The Lancet, 389(10070), 718-726.
  8. Norris, F. H., Friedman, M. J., Watson, P. J., Byrne, C. M., Diaz, E., & Kaniasty, K. (2002). 60,000 disaster victims speak: Part I. An empirical review of the empirical literature, 1981–2001. Psychiatry: Interpersonal and Biological Processes, 65(3), 207-239.
  9. IPCC. (2023). Sixth Assessment Report. Geneva: Intergovernmental Panel on Climate Change.
  10. Atwoli, L., Baqui, A. H., Benbow, N., Bhutta, Z. A., Boerma, T., Bush, A., & Cobham, V. E. (2021). Mental health during the COVID-19 pandemic: implications for global health governance. The Lancet, 398(10312), 940-942.
  11. Rolnick, D., Donti, P. L., Kaack, L. H., Kochanski, K., Lacoste, A., Sankaran, K., … & Bengio, Y. (2019). Tackling climate change with machine learning. arXiv preprint arXiv:1906.05433.
  12. IPCC. (2023). Sixth Assessment Report. Geneva: Intergovernmental Panel on Climate Change.
  13. Chen, Y., Liu, L., Gao, Y., Zhang, Z., & Ren, S. (2020). AI and Climate Change: The Synergy between Artificial Intelligence and Climate Science. Climate Dynamics, 55(4), 1329-1345.
  14. World Economic Forum (2021). Harnessing Artificial Intelligence for theEarth. Geneva: World Economic Forum.
  15. U.N. Environment Programme. (2021). Artificial Intelligence in the Context of Climate Change. United Nations.
  16. Goodfellow, I., Bengio, Y., & Courville, A. (2016). Deep Learning. MIT Press. 7. K. S. Rao et al. (2020). AI for Climate Action: Mitigating Climate Change through Artificial Intelligence and Big Data. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17(9), 3375
en_USEnglish