Penulis: Dr. Tauhid Nur Azhar – Anggota KORIKA
Di minggu pertama bulan September 2024 saya mendapat tugas untuk menjadi narasumber eksternal di Rapat Koordinasi Daerah salah satu unit eselon 2 Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI. Memang sejak 6-7 tahun terakhir saya cukup intens berinteraksi dengan teman-teman abdi negara di direktorat jenderal yang memiliki fungsi sangat krusial di sektor fiskal ini.
Sebagai suatu institusi yang berada dalam koordinasi Chief of Financial Officer negara yang diperankan oleh Menteri Keuangan, Ditjen Pajak memiliki kewenangan dan kewajiban untuk menjalankan amanah dalam hal pengelolaan salah satu instrumen fiskal yang vital, yaitu pajak. Bersama otoritas perencana dan pengendali moneter negara, Ditjen Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal perlu terus melakukan riset secara berkesinambungan untuk mengoptimasi proses ekstensifikasi dan intensifikasi pendapatan negara, sebagai motor penggerak ekonomi dan pembangunan bangsa.
Untuk itu perlu dilakukan secara seksama proses transformasi birokrasi yang dilaksanakan secara berkesinambungan, yang disertai proses pembenahan dan inovasi sistem secara terintegrasi. Persoalan fundamental terkait integritas dan sistem kerja yang efektif adalah 2 isu yang krusial dalam proses evolusi sistem perpajakan Indonesia.
Dari berbagai interaksi dengan berbagai unit eselon 2 di lingkup Ditjen Pajak, dan interaksi dengan para individu yang menjadi aset sumber dayanya semenjak pendidikan dan pelatihan dasar yang diselenggarakan di Balai Diklat dan Balai Diklat Kepemimpinan Kementerian Keuangan Corporate University, saya melihat adanya proses optimasi potensi yang bersifat holistik dan mencakup banyak aspek dan elemen dalam konteks peningkatan kinerja institusi.
Peran pajak dan Ditjen Pajak sebagai instrumen fiskal dan organisasi pelaksananya amat berpengaruh pada profil ekonomi negara. Instrumen fiskal di ranah pajak juga, jika direncanakan secara cerdas dan cermat dapat menjadi instrumen yang tepat untuk meningkatkan kinerja ekonomi negara.
Berbagai insentif pajak yang dapat diamati dan telah berkontribusi pada struktur perekonomian yang berkeadilan dan berkelanjutan, serta telah menjadi instrumen pemulihan ekonomi antara lain adalah;
- Insentif untuk meningkatkan daya beli masyarakat– PPh Pasal 21
- Insentif untuk membantu likuiditas dan kelangsungan usaha – PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25, dan Restitusi PPN
- Insentif penurunan tarif PPh Badan yang berlaku umum– PPh Pasal 25.
Dan banyak lagi kebijakan perpajakan yang direncanakan sebagai instrumen fiskal pemulih kondisi ekonomi yang tertekan atau mengalami kontraksi karena dinamika berbagai faktor pengaruh yang bersifat global.
Adapun secara lebih holistik, sejak beberapa tahun belakangan ini telah dirintis suatu sistem administrasi perpajakan yang disebut sebagai Core Tax Administration System.
Perlunya inovasi dan perbaikan sistem dengan mengadopsi kemajuan teknologi informasi tampaknya adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dihindari. Mengingat semakin signifikannya peran instrumen pajak dalam kebijakan fiskal negara. Dimana untuk tahun anggaran 2025 target penerimaan pajak telah ditetapkan sebesar Rp 2.189,3 triliun.
Sementara dari data statistik yang ada, tak fapat dipungkiri memang sektor pajak telah menunjukkan performa yang cukup baik. Tren realisasi penerimaan pajak terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2023 realisasinya mencapai Rp 1.867 triliun atau 102,73% dari target dan tahun ini (2024) ditargetkan mencapai Rp 1.988,88 triliun.
Dari sisi teknologi, khususnya teknologi informasi, pembaruan sistem administrasi perpajakan dilaksanakan dengan mengembangkan sistem informasi yang dapat dipercaya dan andal untuk mengolah data perpajakan yang akurat berbasis teknologi sesuai dengan proses bisnis utama.
Sebagai gambaran objektif, saat ini terdapat 21 proses bisnis yang telah disiapkan untuk dapat diakomodir dalam core tax system yaitu antara lain;
proses bisnis registrasi, proses bisnis pelayanan, proses bisnis pengelolaan SPT, proses bisnis ekstensifikasi, proses bisnis pengawasan, proses bisnis pemeriksaan, proses bisnis penagihan pajak, proses bisnis pembayaran, proses bisnis penilaian, proses bisnis keberatan dan banding, proses bisnis Taxpayer Account Management (TAM), proses bisnis non keberatan, proses bisnis intelijen perpajakan, proses bisnis penegakan hukum pidana perpajakan, pengelolaan data pihak ketiga, proses exchange of information, proses bisnis Document Management System, proses bisnis Data Quality Management, proses bisnis Knowledge Management, proses bisnis Compliance Risk Management, dan proses bisnis Business Intelligence.
Proses Bisnis Registrasi bertujuan untuk menyediakan data profil wajib pajak secara lengkap dan akurat sehingga dapat digunakan pada seluruh proses bisnis core tax system. Proses ini mencakup pendaftaran wajib pajak, pengukuhan pengusaha kena pajak, pendaftaran objek PBB-P5L, evaluasi dan penetapan tempat terdaftar wajib pajak, perubahan data dan status wajib pajak, serta penghapusan dan pencabutan.
Perbaikan proses registrasi diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi wajib pajak. Demikian pula penggunaan NIK sebagai NPWP juga diharapkan bisa memberikan kesederhanaan dan langkah integrasi data dengan pihak ketiga.
Penggunaan NPWP untuk satu entitas (pusat dan cabang) juga menjadi langkah untuk memberikan kemudahan administrasi serta pengawasan.
Proses Bisnis Layanan Perpajakan, dimana transformasi dalam proses bisnis layanan perpajakan dikelompokkan menjadi empat kegiatan yaitu Edukasi, Permintaan Informasi Perpajakan, Pengaduan, Saran, dan Apresiasi, serta Layanan Administrasi.
Empat jenis proses bisnis tersebut mencakup tiga layanan. Pertama, layanan berbentuk edukasi akan memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pajak sebagai upaya meningkatkan kepatuhan pajak. Kedua, layanan berbentuk interaktif akan melayani konsultasi, penegasan, pengaduan, saran, dan apresiasi, serta layanan administratif lain yang tidak berdampak pada akun wajib pajak serta tidak memiliki nilai moneter. Ketiga, layanan bersifat transaksional yang mencakup layanan administrasi yang mengubah status akun atau memiliki nilai moneter.
Proses Pengelolaan SPT, dimana saat ini, wajib pajak kerap mengalami kesulitan akibat banyak dan kompleksnya proses pengisian SPT, meski telah dikembangkan konsep e-filling yang berorientasi pada kemudahan pengguna. Tetapi secara teknis, setiap jenis SPT biasanya memiliki ketentuan pengguna dan tata cara pengisian yang berbeda-beda. Selain itu, proses persiapan SPT saat ini belum terintegrasi, misalnya e-Faktur dan e-Bupot (bukti potong), sehingga menambah beban administratif.
Dari sisi fiskus, proses pengelolaan SPT saat ini masih menghadapi aneka kendala dalam proses penelitian dan validasi. Lampiran SPT yang belum terstruktur dan standar serta pengelolaan SPT dalam bentuk kertas juga menimbulkan beban administratif yang semakin besar.
Melalui penerapan core tax system, DJP akan melakukan perbaikan dari sisi persiapan SPT, penyampaian SPT, dan pengolahan SPT.
Beberapa konsep yang telah disiapkan antara lain adalah sebagai berikut: Customer Centric Approach Based on User Experience. Akan dilakukan redesain formulir termasuk standardisasi, strukturisasi lampiran, dan unifikasi.
Digitized and Automated Process. Pelaporan SPT dilakukan secara daring, dan akan dilakukan perluasan validasi yang dilakukan oleh sistem, serta prepopulated data berdasarkan masukan data dari pihak ketiga.
Streamlined Process, dimana keseluruhan proses bisnis SPT mulai dari persiapan, penyampaian dan pembayaran pajak akan disederhanakan dan menggunakan satu kanal saja.
Mengapa proses migrasi dan adopsi teknologi serta implementasi CTAS memerlukan waktu yang cukup panjang? Tentu saja karena kompleksitas proses bisnis yang harus diakomodasinya, dan karena ini terkait kebijakan negara, tentu harus didasarkan pada regulasi dan rujukan sistem perundang-undangan yang relevan dan sebagian di antaranya masih perlu dipersiapkan sampai ke tingkat peraturan menteri dan petunjuk teknis pelaksanaan di lapangan.
Tidak mudah memang, dan salah satu tantangan yang cukup signifikan adalah proses akuisisi dan integrasi beberapa model teknologi agar dapat menghasilkan sistem adminitrasi perpajakan yang handal, adaptif, dan akomodatif terhadap dinamika terkait serba serbi perpajakan yang memiliki banyak elemen pengaruh.
Pengembangan Core Tax Administration System (CTAS) memerlukan penerapan berbagai model teknologi informasi yang modern dan adaptif untuk mendukung efisiensi, akurasi, serta integritas data perpajakan. Dalam konteks ini, beberapa model teknologi informasi yang krusial untuk dibangun meliputi sistem basis data, business intelligence, cloud computing, big data analytics, sistem blockchain, serta integrasi data melalui API (Application Programming Interface).
Dalam tulisan ini kita akan coba menjelaskan secara ringkas setiap model teknologi terkait CTAS beserta teori yang mendasarinya.
Sistem Basis Data Terpusat dan Terdistribusi
CTAS membutuhkan sistem basis data yang kuat, mampu menampung volume data yang sangat besar dan memastikan data dapat diakses secara real-time oleh otoritas pajak. Model ini melibatkan dua pendekatan:
- Basis Data Terpusat: Dalam pendekatan ini, semua data perpajakan disimpan dalam satu pusat data yang terintegrasi. Basis data terpusat mendukung konsistensi data dan lebih mudah diaudit, karena semua data disimpan dalam satu sistem utama.
- Basis Data Terdistribusi: Dalam beberapa kasus, khususnya untuk mendukung layanan di daerah-daerah terpencil, basis data terdistribusi yang mendukung replication dan synchronization diperlukan. Model ini memungkinkan setiap daerah atau kantor cabang untuk memiliki akses ke data lokal yang disinkronkan secara berkala dengan pusat.
Teori yang mendasari penggunaan basis data ini adalah Relational Database Theory yang diusulkan oleh E.F. Codd. Model ini memungkinkan data diorganisasi dalam tabel-tabel yang dapat dihubungkan secara logis, mendukung fleksibilitas dalam pemrosesan data perpajakan yang kompleks.
Business Intelligence dan Analytics
Business Intelligence (BI) adalah model yang digunakan untuk mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data yang ada untuk menghasilkan wawasan yang dapat digunakan dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks CTAS, BI dapat digunakan untuk:
- Menganalisis tren kepatuhan wajib pajak
- Mengidentifikasi potensi penyimpangan pajak
- Memberikan rekomendasi dalam pengambilan keputusan strategis, seperti dalam penetapan kebijakan pajak yang baru
Big Data Analytics yang berbasis teori Data Mining dan Machine Learning memungkinkan analisis terhadap jumlah data yang sangat besar dengan metode statistik canggih, sehingga dapat mendeteksi pola perilaku wajib pajak yang mencurigakan. Selain itu, sistem ini memungkinkan pembuatan prediksi berbasis data terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak di masa mendatang.
Cloud Computing
Model cloud computing menyediakan infrastruktur digital yang elastis, memungkinkan CTAS untuk menyimpan dan memproses data pajak dalam skala besar tanpa perlu membangun pusat data fisik yang mahal. Cloud computing juga mendukung mobilitas, karena memungkinkan wajib pajak maupun petugas pajak untuk mengakses sistem dari berbagai lokasi melalui internet.
Berdasarkan NIST Cloud Computing Model, cloud computing menawarkan tiga model layanan utama:
- Software as a Service (SaaS): Wajib pajak dapat mengakses aplikasi perpajakan seperti e-SPT melalui antarmuka web tanpa perlu menginstal aplikasi.
- Platform as a Service (PaaS): Pengembang sistem dapat membangun atau mengembangkan aplikasi perpajakan di atas platform cloud.
- Infrastructure as a Service (IaaS): DJP dapat menggunakan infrastruktur cloud untuk menyimpan dan mengelola basis data perpajakan.
Teori yang mendasari cloud computing adalah utility computing, yang memungkinkan sumber daya komputasi dikelola seperti utilitas publik (air, listrik), sehingga pengguna membayar sesuai kebutuhan.
Blockchain
Teknologi blockchain memiliki potensi besar untuk meningkatkan transparansi dan keamanan dalam CTAS, khususnya dalam mengelola catatan perpajakan dan transaksi finansial. Sistem blockchain bekerja dengan mencatat setiap transaksi dalam ledger yang tersebar (terdistribusi) dan tidak dapat diubah, sehingga sangat cocok untuk memastikan bahwa setiap pelaporan dan pembayaran pajak dilakukan dengan cara yang transparan dan aman.
Teori di balik blockchain adalah Distributed Ledger Technology (DLT), yang memungkinkan setiap pihak memiliki salinan dari transaksi yang sama, serta memastikan keaslian data tanpa perlu otoritas pusat.
API dan Integrasi Data
Application Programming Interface (API) adalah model teknologi yang memungkinkan berbagai sistem untuk berkomunikasi dan bertukar data. Dalam CTAS, API diperlukan untuk mengintegrasikan sistem perpajakan dengan pihak ketiga, seperti perbankan, perusahaan, dan institusi lain yang relevan.
Dengan adanya API, data keuangan, identitas wajib pajak, serta informasi transaksi dapat disinkronkan secara otomatis, mengurangi kesalahan manual dan mempercepat proses verifikasi pajak. API mendukung konsep Service-Oriented Architecture (SOA), yang memungkinkan layanan-layanan kecil dalam sistem CTAS untuk berfungsi secara mandiri namun tetap terintegrasi.
Artificial Intelligence (AI) dan Automasi Proses Bisnis
AI memungkinkan automasi beberapa proses bisnis perpajakan, seperti penilaian risiko kepatuhan, pemeriksaan, dan deteksi kecurangan. Melalui machine learning, CTAS dapat mempelajari pola perilaku wajib pajak dan memberikan rekomendasi otomatis untuk tindakan lebih lanjut, seperti investigasi mendalam atau sanksi administratif.
Model ini didasarkan pada teori Cognitive Computing, yang memungkinkan sistem untuk belajar dari data, memahami konteks, dan membuat keputusan yang lebih tepat tanpa intervensi manusia secara langsung.
Secara lebih detail peran masing-masing model kecerdasan artifisial atau AI dapat dielaborasi sebagai berikut;
Machine Learning (ML)
Machine Learning adalah model AI yang memungkinkan sistem untuk “belajar” dari data tanpa memerlukan pemrograman eksplisit. Dalam konteks CTAS, ML dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti:
- Prediksi Kepatuhan Pajak: Dengan menggunakan data historis wajib pajak, model ML dapat memprediksi tingkat kepatuhan wajib pajak di masa mendatang, mengidentifikasi wajib pajak berisiko tinggi, dan memfokuskan pengawasan pada mereka yang memiliki kemungkinan melakukan pelanggaran.
- Optimasi Pemeriksaan Pajak: ML dapat digunakan untuk mengotomatisasi proses seleksi wajib pajak yang akan diperiksa. Sistem ini dapat mempelajari pola penyimpangan berdasarkan data sebelumnya dan menentukan kasus mana yang paling membutuhkan perhatian segera.
- Pendeteksian Kecurangan Pajak (Fraud Detection): Dengan algoritma seperti decision trees, random forest, atau neural networks, ML dapat mendeteksi pola perilaku yang mencurigakan, seperti transaksi yang tidak konsisten, pelaporan yang tidak wajar, atau penggelapan pajak.
Teori yang mendasari ML adalah statistical learning, yang memungkinkan komputer untuk mengenali pola dari data, melakukan klasifikasi, atau memberikan prediksi berdasarkan pola yang ditemukan.
Natural Language Processing (NLP)
Natural Language Processing (NLP) adalah cabang/model AI yang memungkinkan sistem untuk memahami dan mengolah bahasa alami manusia. Di CTAS, NLP bisa diterapkan untuk:
- Analisis Dokumen Pajak: NLP dapat membantu dalam pemrosesan dokumen perpajakan seperti Surat Pemberitahuan (SPT) dan lampirannya. Sistem ini dapat membaca, memahami, dan mengidentifikasi informasi yang penting dari dokumen pajak secara otomatis, mempercepat proses validasi dan audit.
- Layanan Pelanggan Otomatis: NLP dapat diterapkan untuk menciptakan chatbot yang dapat menjawab pertanyaan wajib pajak terkait perpajakan, memberikan panduan pengisian formulir SPT, atau merespons permintaan informasi lainnya secara otomatis. Dengan demikian, interaksi antara wajib pajak dan DJP dapat lebih efisien.
NLP didasarkan pada teori computational linguistics, yang menggunakan metode statistik dan aturan linguistik untuk memahami dan memproses teks dalam bahasa alami.
Selain NLP untuk fungsi-fungsi di atas, plus simulasi fraud dan chat bot dapat digunakan berbagai jenis Generatif AI atau model Transformer seperti GPT dari Open AI.
Deep Learning
Deep Learning merupakan subkategori dari machine learning yang menggunakan jaringan saraf tiruan berlapis (neural networks) untuk memodelkan data dengan kompleksitas tinggi. Aplikasi deep learning dalam CTAS meliputi:
- Deteksi Anomali: Deep learning dapat digunakan untuk mendeteksi anomali pada data perpajakan. Misalnya, jaringan saraf tiruan dapat mempelajari pola pelaporan pajak normal dan mendeteksi setiap pelaporan yang menyimpang atau tidak sesuai. Teknik ini sering kali lebih akurat dibandingkan model machine learning tradisional.
- Pengklasifikasian Wajib Pajak: Dengan deep learning, DJP dapat mengelompokkan wajib pajak berdasarkan perilaku dan riwayat pelaporan mereka, misalnya dengan mendeteksi pola wajib pajak yang sering terlambat membayar pajak atau yang melakukan pelanggaran berulang.
Teori di balik deep learning adalah artificial neural networks, yang mensimulasikan cara kerja otak manusia dalam menganalisis data, khususnya dalam mengenali pola yang sangat kompleks dan berlapis-lapis.
Reinforcement Learning (RL)
Reinforcement Learning (RL) adalah model AI di mana sistem “belajar” dengan berinteraksi dengan lingkungan dan mendapatkan umpan balik dalam bentuk reward atau punishment. Dalam konteks CTAS, RL dapat digunakan untuk:
- Optimasi Proses Penagihan Pajak: Dengan RL, sistem dapat belajar dari interaksi dengan wajib pajak dan menyesuaikan strategi penagihan untuk mencapai hasil yang optimal. Misalnya, sistem dapat mengidentifikasi metode penagihan mana yang paling efektif untuk berbagai jenis wajib pajak.
- Penentuan Kebijakan Pengawasan yang Optimal: Sistem RL dapat digunakan untuk mengoptimalkan alokasi sumber daya DJP dalam pengawasan dan pemeriksaan pajak, dengan mempertimbangkan anggaran, waktu, dan potensi hasil dari tindakan yang dilakukan.
Teori RL didasarkan pada Markov Decision Process (MDP), yang menggambarkan bagaimana agen AI memilih tindakan yang memaksimalkan reward jangka panjang dalam lingkungan yang dinamis.
Robotic Process Automation (RPA)
Robotic Process Automation (RPA) adalah teknologi yang menggunakan robot perangkat lunak untuk mengotomatisasi tugas-tugas administratif yang berulang, seperti memasukkan data, memproses formulir, dan mengirimkan notifikasi. Dalam konteks CTAS, RPA dapat digunakan untuk:
- Otomatisasi Pengolahan SPT: RPA dapat memproses SPT yang diajukan wajib pajak secara otomatis, memvalidasi isian, dan mencocokkan data dengan basis data yang ada. Ini akan mengurangi waktu pemrosesan manual dan meningkatkan efisiensi.
- Notifikasi Otomatis: RPA dapat digunakan untuk mengirimkan pengingat otomatis kepada wajib pajak terkait tenggat waktu pembayaran pajak, pelaporan, atau jika ada kesalahan dalam pengisian formulir.
RPA sering kali dikombinasikan dengan AI dan didasarkan pada prinsip-prinsip workflow automation, yang berfokus pada pengoptimalan proses bisnis untuk meningkatkan efisiensi.
Fuzzy Logic Systems
Fuzzy Logic adalah model AI yang memungkinkan penanganan ketidakpastian dan data yang tidak pasti. Dalam perpajakan, sering kali ada ambiguitas dalam penilaian status pajak atau kelayakan pajak. Fuzzy Logic dapat digunakan untuk:
- Penilaian Risiko Pajak: Sistem ini dapat digunakan untuk menilai risiko kepatuhan wajib pajak dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang tidak pasti, seperti perilaku historis wajib pajak, kondisi ekonomi, dan data pihak ketiga.
- Pengambilan Keputusan dalam Kasus Sengketa Pajak: Dengan fuzzy logic, sistem dapat memberikan rekomendasi kepada pengambil keputusan dalam sengketa pajak yang kompleks, di mana tidak ada jawaban yang jelas hitam-putih.
Teori fuzzy logic dikembangkan oleh Lotfi Zadeh, yang memungkinkan sistem untuk bekerja dengan nilai yang tidak pasti atau imprecise, memberikan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan.
Implementasi beberapa model AI seperti machine learning, natural language processing, deep learning, reinforcement learning, generative AI, robotic process automation, dan fuzzy logic systems dalam Core Tax Administration System (CTAS) akan memungkinkan DJP untuk mengotomasi banyak proses, meningkatkan akurasi dalam deteksi kecurangan, mempercepat validasi data, serta memberikan layanan yang lebih efisien kepada wajib pajak. Dengan pemanfaatan AI, CTAS dapat dioptimalkan untuk mencapai target penerimaan pajak yang lebih baik dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, serta tentu saja meningkatkan kemudahan bagi para wajib pajak untuk menunaikan kewajibannya.
Akhirul kata, besar harapan upaya inovatif untuk mengoptimalkan pemanfaatan kemajuan teknologi dalam pengembangan sistem administrasi dan layanan perpajakan (CTAS), dapat memberikan kontribusi maksimal dalam upaya peningkatan kesejahteraan bangsa dan negara melalui salah satu instrumen fiskal yang utama.