Eksperimen Rekreatif dan Evolusi Kognisi: Dari Generative AI hingga Teori Bilangan

Blog

Penulis: Dr. Tauhid Nur Azhar – Anggota KORIKA

Akhir pekan sering kali menjadi waktu yang ideal untuk melakukan berbagai eksperimen rekreatif yang tidak hanya menghadirkan atmosfer relaksatif tetapi juga edukatif. Sebagai individu yang gemar bercanda dengan teman-teman yang memiliki frekuensi humor yang sama, kehadiran model generative AI dengan berbagai kapasitas ajaibnya memberikan saya kesempatan untuk bereksperimen dengan imajinasi melalui kata dan gambar.

Salah satu kegemaran saya adalah membuat avatar dengan bantuan Bing Image Creator. Alat ini mampu menerjemahkan deskripsi naratif berbentuk teks menjadi citra yang nyaris sempurna, atau setidaknya 90% mendekati ekspektasi saya. Hasil dari image creator ini kemudian saya olah kembali menjadi animasi, stiker di WhatsApp, atau dilengkapi dengan lagu yang juga dihasilkan oleh generative AI, sehingga tercipta cerita anak-anak yang interaktif, lucu, dan keren menurut saya.

Saya pernah membuat dongeng dengan tokoh Putri Punan dan Orang Utan, Dugong Mahakam, hingga Borry Beruang Kutub dan ikan Salmon. Dari versi ke versi, berbagai aplikasi berbasis generative AI terus saya coba, dan setiap kali mencoba versi terbaru, saya semakin terpana. Citra yang dihasilkan semakin sulit dibedakan dengan sosok aslinya, demikian juga lagu dan gerak yang dihasilkan, semuanya menjadi semakin realistis.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah, “kok bisa ya?” Salah satu jawabannya mungkin adalah karena adanya angka. Penemuan angka sebagai simbol yang mewakili nilai kuantitatif telah melalui perjalanan panjang yang melibatkan evolusi kognisi yang dikembangkan secara bertahap oleh berbagai peradaban kuno di berbagai belahan dunia. Angka tidak hanya sebagai alat bantu menghitung, tetapi juga mencerminkan cara berpikir manusia tentang dunia dan fenomena yang ada di dalamnya. Angka adalah batu bata dari sistem logika yang kemudian melahirkan matematika.

Manusia (Homo sapiens) sudah mulai mengembangkan konsep perhitungan kuantitatif jauh sebelum penemuan simbol angka. Bukti paling awal mengenai pemahaman konsep angka dapat dilihat dari artefak seperti Ishango Bone dari Afrika yang diperkirakan berusia lebih dari 20.000 tahun. Artefak ini menunjukkan deretan takik yang mungkin digunakan untuk menghitung atau mencatat bilangan tertentu. Di sinilah mulai terlihat adanya kebutuhan manusia untuk mencatat jumlah.

Pada masa prasejarah, sistem bilangan yang paling awal adalah bentuk pengelompokan yang sederhana, seperti menjumlahkan dengan menggunakan benda fisik. Contohnya adalah dengan menggunakan jari, batu, atau tanda takik. Peradaban-peradaban besar di dunia mulai mengembangkan sistem angka yang lebih kompleks seiring dengan kebutuhan administrasi, perdagangan, serta pengelolaan sumber daya.

Peradaban Mesopotamia, sekitar 3000 SM, dikenal sebagai salah satu peradaban pertama yang mengembangkan sistem bilangan. Mereka menggunakan sistem seksagesimal (basis 60), yang terus dipakai dalam penanggalan waktu (60 detik = 1 menit, 60 menit = 1 jam) dan pengukuran sudut. Sistem ini menggunakan kombinasi simbol untuk menggambarkan bilangan 1 hingga 59, kemudian kembali mengulang pola untuk angka-angka lebih besar dengan posisi yang berbeda.

Bangsa Mesir mengembangkan sistem bilangan berbasis desimal sekitar 3000 SM. Mereka menggunakan hieroglif untuk menggambarkan unit dasar seperti 1, 10, 100, dan seterusnya. Sistem ini lebih sederhana, tetapi tidak efisien untuk operasi aritmatika yang rumit. Bangsa dan peradaban Romawi menggunakan sistem yang dikenal sebagai Angka Romawi, yangberbasis simbol seperti I, V, X, L, C, D, dan M. Sistem ini kurang efisien dibandingkan sistem desimal dan tidak memiliki simbol untuk nol, yang membuatnya sulit untuk melakukan perhitungan matematis yang lebih kompleks.

Salah satu kontribusi terbesar dalam sejarah angka datang dari peradaban India, sekitar abad ke-5 M, ketika konsep angka nol pertama kali muncul. Simbol nol memberikan tempat kosong yang memungkinkan sistem bilangan posisi, di mana nilai sebuah angka tergantung pada posisinya dalam rangkaian. Sistem desimal (basis 10) yang kita gunakan saat ini juga pertama kali berkembang di India. Nol yang ditemukan oleh Brahmagupta diakui sebagai penemuan yang memungkinkan perhitungan matematis lebih lanjut dan membuka pintu bagi perkembangan aljabar.

Sistem bilangan desimal India kemudian diperkenalkan ke dunia Barat melalui matematikawan Muslim, khususnya melalui Al-Khawarizmi pada abad ke-9. Inilah yang menyebabkan sistem bilangan ini dikenal sebagai angka Arab, meskipun asal usulnya dari India. Sistem ini kemudian diadopsi secara luas di Eropa, menggantikan angka Romawi yang kaku.

Cendekiawan matematika Yunani, khususnya Euclid melalui karyanya Elements, telah memberikan fondasi bagi teori bilangan. Euclid membahas bilangan prima dan algoritma untuk menemukan bilangan terbesar yang dapat membagi dua bilangan bulat (Algoritma Euclid). Konsep ini terus berkembang dan tetap relevan hingga hari ini, terutama dalam bidang kriptografi.

Teori bilangan berkembang pesat pada abad ke-19 dengan penemuan Teorema Bilangan Prima. Teorema ini menjelaskan distribusi bilangan prima di antara bilangan bulat, menunjukkan bahwa bilangan prima menjadi semakin jarang ditemui saat kita bergerak menuju bilangan yang lebih besar.

Pengembangan lebih lanjut dari konsep angka mencakup pengenalan angka negatif, bilangan rasional, irasional, dan akhirnya bilangan kompleks, yang diperkenalkan oleh Carl Friedrich Gauss pada abad ke-19. Bilangan kompleks memberikan dimensi baru pada studi angka dan membuka banyak aplikasi dalam fisika, teknik, dan matematika modern.

Manusia dengan segenap potensi kognisinya yang bersifat prokreasi dapat berevolusi sedemikian pesatnya sejak mengenal faedah angka sebagai alat untuk memodelkan alam semesta. Bahkan kemudian fungsi persepsi dan prokreasi serta kemampuan berimajinasi serta preferensi afeksi miliknya sendiri pun direplikasi menjadi model kecerdasan artifisial yang kini mulai mensubstitusi berbagai fungsi yang esensial.

Maka menjadi hal krusial pula jika kita membahas bagaimana dari matematika sederhana berbasis aritmetika, peradaban manusia kemudian dapat menemukan berbagai persamaan matematika yang bisa membawanya “melongok” alam semesta, mereduksi waktu dengan mengonversi energi dan menciptakan alat transportasi, serta melahirkan berbagai inovasi yang dapat mengoptimasi peluangnya dalam perkara eksistensi.

Sistem terapi dan obat terus berevolusi, kota dan permukiman semakin cerdas dan nyaman untuk dihuni, demikian juga upaya untuk pemenuhan pangan telah menghadirkan banyak terobosan dalam berbagai bidang perikanan, peternakan, dan pertanian. Tapi dasarnya adalah struktur logika, algoritma, dan tentu saja matematika. Salah satu konsep matematika yang menurut saya akan banyak menentukan arah perkembangan dari teknologi AI terkini adalah Kolmogorov-Arnold Network (KAN).

KAN adalah sebuah konsep matematika yang berasal dari teori fungsi multivariat, yang diperkenalkan oleh Andrey Kolmogorov dan Vladimir Arnold pada pertengahan abad ke-20. Teori ini awalnya dikembangkan dalam konteks masalah matematika terkait representasi fungsi kontinu multivariabel. KAN dapat berperan penting dalam ranah jaringan saraf tiruan (neural networks) karena menawarkan solusi teoritis untuk mendekati fungsi kontinu multivariat melalui komposisi fungsi satu variabel dan operasi penjumlahan.

Pada medio 1950-an, Andrey Kolmogorov menyatakan bahwa fungsi multivariat kontinu dapat direpresentasikan sebagai superposisi dari sejumlah kecil fungsi kontinu satu variabel. Temuan ini kemudian dikembangkan oleh Vladimir Arnold, yang menunjukkan cara merepresentasikan fungsi tersebut dengan lebih spesifik. Dalam teori Kolmogorov-Arnold, dikemukakan bahwa fungsi kontinu dapat dipecah menjadi kombinasi dari fungsi kontinu satu variabel dan fungsi penjumlahan sederhana.

Secara umum, teorema ini menekankan bahwa tidak diperlukan fungsi-fungsi dengan variabel multidimensi untuk mengaproksimasi fungsi-fungsi multivariat. Hal ini mendasari pandangan bahwa setiap fungsi kontinu multivariat dapat dinyatakan melalui jaringan komposisi fungsi sederhana.

Penerapan KAN yang dapat mengaproksimasi fungsi-fungsi multivariat dengan komposisi sederhana memiliki kontribusi signifikan dalam proses pengembangan AI yang saat ini tengah menjadi teknologi pemantik kemajuan di berbagai bidang. Dalam model supervised learning, KAN dapat digunakan untuk mendekati hubungan kompleks antara variabel input dan output. Dengan memanfaatkan jaringan saraf multi-layer, algoritma pembelajaran dapat melatih model untuk mendekati fungsi target dengan akurasi tinggi, seperti yang dijelaskan oleh teorema Kolmogorov-Arnold.

Jaringan Syaraf Multilayer Perceptron (MLP) adalah suatu model yang menerapkan aksioma dalam teorema KAN. MLP menggunakan beberapa lapisan tersembunyi untuk melakukan komposisi fungsi non-linear satu variabel, sehingga mampu mengaproksimasi fungsi multivariabel yang kompleks. Sementara dalam bidang-bidang seperti pemrosesan citra, pengenalan suara, dan analisis data multidimensi lainnya, KAN memberikan dasar teoretis untuk mendekati fungsi-fungsi yang menghubungkan data multidimensi dengan output prediksi. Konsep ini dapat digunakan dalam berbagai aplikasi mulai dari pengenalan wajah hingga analisis citra medis.

Selain pemodelan fungsi prediktif, KAN juga dapat digunakan dalam model generatif, seperti dalam model generative adversarial network (GAN) di mana tujuan utama model ini adalah mempelajari distribusi data yang kompleks. Dengan menggunakan jaringan yang mendekati fungsi-fungsi kompleks, GAN dapat menghasilkan data sintetik yang menyerupai data asli.

KAN memainkan peran penting dalam pengembangan Generative AI karena dapat memberikan kerangka matematis yang efisien untuk mengaproksimasi fungsi non-linear multivariat yang kompleks. Penerapan KAN memungkinkan reduksi dimensi dan ekspansi non-linear melalui komposisi fungsi satu variabel, yang sangat berguna dalam pemetaan ruang laten ke ruang data dalam model seperti GAN dan VAE. Selain itu, KAN membantu merancang struktur jaringan yang lebih efisien, mengurangi jumlah lapisan atau neuron yang diperlukan, serta meningkatkan stabilitas pelatihan generatif dengan mengatasi kesulitan seperti curse of dimensionality dan overfitting.

Teorema KAN selain mendasari pengembangan model genAI seperti GAN dan VAE serta Transformer, juga telah menghasilkan Denoising Diffusion Model (DDM). DDM adalah salah satu model generatif yang secara bertahap menghasilkan data baru dari noise acak (seperti gambar, teks, atau sinyal) melalui serangkaian transformasi probabilistik yang diatur oleh distribusi Gaussian. DDM merupakan pendekatan yang relatif baru dalam generative modeling, dan belakangan ini mendapatkan perhatian karena performanya yang sangat baik dalam menghasilkan gambar dan data sintetik yang realistis.

en_USEnglish